Selasa, 29 Juni 2010

SEKOLAH MINGGU

Sekolah minggu

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Sekolah Minggu di Oklahoma, Amerika Serikat, ca. 1900.

Sekolah Minggu merupakan kegiatan bersekolah yang diadakan pada hari Minggu. Banyak denominasi Kristen yang mengajarkan pelajaran keagamaan di dalam Sekolah Minggu. Biasanya kegiatan Sekolah Minggu diadakan di dalam sebuah gereja.

Sejarah

Dimulai dari krisis ekonomi di Inggris pada abad ke-18. Robert Raikes yang adalah wartawan surat kabar di Inggris meliput berita mengenai keadaan tersebut. Dalam tugasnya tersebut, Raikes menemui banyak anak-anak yang harus menjadi tenaga kerja di pabrik-pabrik sebagai buruh kasar. Mereka bekerja dari hari Senin sampai dengan hari Sabtu. Pada hari Minggu mereka libur.

Anak-anak tersebut memiliki uang sendiri untuk mereka belanjakan, hasil dari upah mereka sebagai buruh. Hari Minggu mereka habiskan untuk bersenang-senang. Minum-minuman keras, berjudi, bertingkah liar, dan tindakan-tindakan yang tidak terpuji lainnya.

Hati Raikes tergerak. Dia lantas membuka sebuah kelas yang terletak di sebuah dapur kecil milik Meredith di kota Scooty Alley. Kelas tersebut dibuka setiap hari Minggu. Awalnya anak-anak diajarkan sopan santun, kebersihan, membaca, menulis, dan sebagainya. Perkembangan selanjutnya mulai diajarkan ajaran-ajaran Alkitab.

Kelas ini berkembang. Dalam waktu empat tahun sekolah yang diadakan pada hari Minggu itu semakin berkembang bahkan ke kota-kota lain di Inggris. Dan jumlah anak-anak yang datang ke sekolah hari minggu terhitung mencapai 250.000 anak di seluruh Inggris.

Ketika Robert Raikes meninggal dunia tahun 1811, jumlah anak yang hadir di Sekolah Minggu di seluruh Inggris mencapai lebih dari 400.000 anak. Gerakan di Inggris ini akhirnya menjalar ke berbagai tempat di dunia, termasuk negara-negara Eropa lainnya dan ke Amerika.

Dasar-Dasar Pelayanan Sekolah Minggu Anak

Berikut ini dasar Alkitab dari Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru mengenai pelayanan sekolah minggu. [1]

  • Pelayanan Anak Masa Perjanjian Lama (Ulangan 6:4-7)
    • Pembinaan rohani anak dilakukan sepenuhnya dalam keluarga (Ulangan 6:4-7).
    • Pada zaman pembungan Babilonia, orang tua wajib mengirimkan anak-anaknya yang berusia di bawah lima tahun ke sinagoge untuk dididik oleh guru-guru sukarelawan yang mahir dalam kitab Taurat. Anak-anak dikelompokkan dengan jumlah maksimum 25 orang dan dibimbing untuk aktif berpikir dan bertanya, sedangkan guru menjadi fasilitator yang selalu siap sedia menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka.
  • Pelayanan Anak Masa Perjanjian Baru (1 Timotius 3:15)
    • Ketika orang-orang Yahudi yang dibuang di Babilonia diizinkan pulang ke Palestina, mereka meneruskan tradisi membuka tempat ibadah sinagoge ini di Palestina sampai masa Perjanjian Baru.
    • Tradisi mendidik anak-anak secara ketat terus berlangsung sampai pada masa rasul-rasul (1 Timotius 3:15) dan gereja mula-mula. Namun, tempat untuk mendidik anak perlahan-lahan tidak lagi dipusatkan di sinagoge tetapi di gereja, tempat jemaat Tuhan berkumpul.

Perkembangan Sekolah Minggu

Dari para misionaris yang pergi melayani ke negara-negara Asia, akhirnya pelayanan anak melalui Sekolah Minggu juga hadir di Indonesia.

Berikut beberapa dugaan perkembangan pelayanan sekolah minggu di Indonesia. Masih dugaan karena memang tidak ada catatan resminya bagaimana sekolah minggu di Indonesia mulai berkembang. [2]

  1. Ada inisiatif pribadi membuka pelayanan anak dan menggunakan hari Minggu, seperti yang disebarkan para misionaris. Ada beberapa catatan surat pribadi, sebelum Indonesia merdeka, bahwa anak-anak dikumpulkan di rumah tangga-rumah tangga.
  2. Biasanya anak-anak ikut dalam kebaktian gereja bersama orang tuanya dikumpulkan untuk ibadah sendiri.
  3. Pada abad ke-19 sekolah minggu berkembang di Eropa dan Amerika. Akibatnya juga terasa di Indonesia terutama di daerah Zending-Zending.
  4. Permulaan abad 20 Zending-Zending mendirikan sekolah untuk anak-anak dan kebaktian Anak. Ada beberapa buku pedoman mengajar PAK anak yang diterbitkan oleh para missionaris/Zending.
  5. Dari Dewan Gereja Indonesia (sekarang PGI) dibentuk "Seksi Sekolah Minggu sementara" dan disahkan pada tahun 1953.


Melihat keberhasilan Robert Raikes, gereja kemudian mengambil alih model pelayanan itu menjadi alat pekabaran Injil. Barulah di abad ke-20 muncul bahan pelajaran Sekolah Minggu yang ber­jenjang, dan mulai terjadi pergeseran dari maksud utama untuk pekabaran Injil menjadi untuk pembinaan. Jadi, lahir dan munculnya Sekolah Minggu bukanlah berasal dari gereja. Gereja memakai model ini menjadi alat pem­binaan yang sangat efektif.

Di Amerika Serikat, pada awalnya anak-anak mendapat pelajaran membaca dan menulis, karena sekolah ini ditujukan untuk anak-anak telantar usia 6-14 tahun. Baru sesudah dapat membaca dan menulis, anak-anak diperkenalkan pada Injil. Setelah mengalami perkembangan, dan berkali-kali konven-konven guru Sekolah Minggu baik tingkat nasional maupun internasional diadakan, pada tahun 1872 mulailah digunakan International Uniform Lessons (Bahan Alkitab untuk Sekolah Minggu yang diseragamkan). Namun, semua itu ber­tujuan untuk memenangkan jiwa! Tujuan utama lainnya adalah mengajarkan Alkitab. Baru di akhir abad ke-19 sampai awal abad ke-20, muncul kesadaran untuk menangani Sekolah Minggu secara lebih profesional. Ilmu pendidikan mulai diterapkan. Pada tahun 1922 berdirilah International Sunday School Council of Religious Education, yang pada tahun 1924 berubah nama menjadi The International Council of Religious Education. Dengan berdirinya kedua lem­baga tersebut, Sekolah Minggu menjadi semakin maju, dengan teori-teori pendidikan yang modern, yang lebih berpusat kepada anak dan bukan lagi berpusat pada guru.

Pada tahun 1930, muncul juga kesadaran bahwa keluarga ikut berperan serta dalam penyelenggaraan Sekolah Minggu. Kedekatan orangtua dan anak (baik dari segi waktu maupun kualitas) akan memberi hasil pembinaan yang baik. Sayang sekali, contoh dan buku tentang hal ini masih sangat kurang. Kalaupun ada, sangat jarang keluarga Kristen yang membaca dan mempelajarinya.

Jika gereja mengadakan Sekolah Minggu, tujuan utamanya adalah untuk:

- Mewariskan iman (Yesus Kristus adalah Juru Selamat dunia).

- Membina warga jemaat.

- Regenerasi umat (agar gereja terus ada dan berkembang dengan baik).

Karena itulah, gereja-gereja di Belanda, Eropa, dan Amerika banyak yang menggunakannya bukan hanya untuk membina anak-anak, melainkan juga untuk membina jemaat umum dewasa. Jadi, setiap hari Minggu seusai kebaktian umum, para jemaat masuk dalam kelas-kelas pembinaan. Kelas-­kelas itu diatur berdasarkan kelompok tingkatan usia, dari balita, anak kecil, anak yang sudah lebih besar, remaja, pemuda, dewasa muda, dewasa, dan lanjut usia. Di setiap kelas (kelompok usia) warga jemaat ber-Sekolah Minggu dengan belajar Alkitab bersama seorang facilitator (guru).

Karena itu tepat jika untuk membina warga jemaat, gereja (di Indonesia) mengadakan Sekolah Minggu. Walaupun saat ini sudah terlanjur dipahami bahwa Sekolah Minggu (di Indonesia) sama dengan kelas pembinaan (atau kebaktian) untuk anak-anak. Pada umumnya gereja di Indonesia membuat “kelas” pembinaan untuk kategori remaja, pemuda, dewasa muda, dewasa, dan lanjut usia pada hari di luar hari Minggu dalam bentuk persekutuan-­persekutuan remaja, pemuda, dan sebagainya.

Memahami sejarah Sekolah Minggu yang sedemikian, selain kita melihat sejarah perkembangan dan pemikirannya, kita juga dapat belajar beberapa hal berikut:

1. Gereja juga dipanggil untuk mengentaskan masyarakat yang tertinggal (buta huruf, miskin/telantar/anak jalanan, dan sebagainya).

2. Gereja dipanggil bukan hanya mengajarkan Alkitab kepada anak-anak, melainkan juga untuk menumbuh kembangkan seluruh (totalitas) diri anak.

3. Gereja dipanggil untuk melihat persoalan masyarakatnya dan ikut ambil bagian untuk menyelesaikannya.

4. Gereja dipanggil menjadi gereja untuk masyarakat sekitarnya.

Sekolah Minggu diajak menghayati sejarahnya dan mengembangkannya.

(Disadur dari Wikipedia Indonesia)

Senin, 28 Juni 2010

RENUNGAN (2) What Did Jesus Preach?

What Did Jesus Preach?


Right-click here to download pictures. To help protect your privacy, Outlook prevented automatic download of this picture from the Internet.

The predominant focus of mainstream Christianity is the undeserved crucifixion of Jesus Christ, and the subsequent forgiveness of sins that is available through accepting that sacrifice. While this selfless act was and is unquestionably momentous, and its effects exceedingly far-reaching, many would be shocked to find out that the Bible defines the gospel differently than what they have always been told. A thoughtful reading shows that accepting Christ's blood in payment of our sins—as foundationally important as it is—is actually not the focus of the "good news" that He brought and that the apostles continued to preach.

In addition to dying for our sins, Jesus Christ came to earth as a messenger from God the Father:

Behold, I send My messenger [John the Baptist], and he will prepare the way before Me. And the Lord, whom you seek, will suddenly come to His temple, even the Messenger of the covenant, in whom you delight. Behold, He is coming," says the LORD of hosts. (Malachi 3:1)

Jesus did not speak His own words, but the words that the Father gave Him (John 8:38-42; 12:49-50; 14:24). His message was not primarily about Himself, but rather the good news that the Father ordained to be announced on earth. While Jesus Christ was categorically the most important individual ever to walk this earth, the Bible shows clearly that the gospel that Jesus brought was not simply about Himself. Read His statements, and prove this for yourself:

» And Jesus went about all Galilee, teaching in their synagogues, preaching the gospel of the kingdom, and healing all kinds of sickness and all kinds of disease among the people. (Matthew 4:23)

» And Jesus went about all the cities and villages, teaching in their synagogues, preaching the gospel of the kingdom, and healing every sickness and every disease among the people. (Matthew 9:35)

» Now after John was put in prison, Jesus came to Galilee, preaching the gospel of the Kingdom of God, and saying, "The time is fulfilled, and the kingdom of God is at hand. repent, and believe in the gospel." (Mark 1:14-15)

» [Jesus] said to them, "I must preach the kingdom of God to the other cities also, because for this purpose I have been sent." (Luke 4:43)

» Now it came to pass, afterward, that [Jesus] went through every city and village, preaching and bringing the glad tidings [gospel] of the kingdom of God. (Luke 8:1)

» The law and the prophets were until John. Since that time the kingdom of God has been preached, and everyone is pressing into it. And it is easier for heaven and earth to pass away than for one tittle of the law to fail. (Luke 16:16-17)

» And this gospel of the kingdom will be preached in all the world as a witness to all the nations, and then the end will come. (Matthew 24:14)

The inspired Word of God makes it abundantly plain: The "good news" that Jesus Christ brought was about the Kingdom of God! The "gospel of Jesus Christ" is simply the message of good news that Jesus preached—not a message about Jesus. It is not primarily a message about the events in His life and of His becoming the Savior of the world—although it most certainly does include all that. But if the events of His life are not seen in the context of what He said, the resulting "faith" will be full of error and ultimately disastrous!

The announcement of "good news"—the very best news that could be heard today—which the Father gave through Jesus Christ, was about His Kingdom being established on earth.

But what is a kingdom? It is essentially a nation, with all of its citizens, land, and laws, ruled by a government. In biblical usage, a kingdom can also mean a family from a single parent grown into a nation.

A kingdom has four basic elements: 1) a king, supreme ruler, or governing agent; 2) territory, with its specific location and definite boundary lines; 3) subjects or citizens within that territorial jurisdiction; 4) and laws and a form of government through which the will of the ruler is exercised. If we ignore any one of these essential elements—if we ignore the message that Jesus Christ brought from the Father—we will have a distorted faith, one that will not bring salvation.


(Diambil dari The Berean)

Jumat, 25 Juni 2010

RENUNGAN

Who is Jesus?

At the heart of Christianity is a central question, "Just who is Jesus Christ?" It may be astounding to some that such a question is still relevant after nearly two millennia of Christian activity, but as strange as it may seem, even Christians do not agree about the nature of the founder of their religion. This fact says a great deal about those who profess to be "Christian," which at its most basic means "follower of Christ." If Christians display such profound disagreement about Jesus Christ Himself, can they all really be following the same Person?

This subject becomes all the more important since, in its most common form, Christianity is proclaimed as a message about Jesus. What a person believes about Jesus, then, informs his understanding of the religion itself. We can see the result of this process in the thousands of Christian denominations in all parts of the world. While they all proclaim to be Christian, the individual sects emphasize different aspects of Jesus in their teaching. For instance:

» Baptists name themselves after Jesus' practice of baptizing converts, and they traditionally stress conformity to certain behavioral rules: no drinking, no card playing, no dancing. Jesus, to them, is a great moral Teacher.

» Pentecostals, on the other hand, call themselves after Jesus' promise of the gift of the Holy Spirit, which was fulfilled on the Feast of Pentecost after Jesus' death and resurrection. They are known for their great desire to express the gifts of the Spirit, particularly being able to speak in tongues. In other words, their Jesus is a Miracle Worker.

» Seventh-day Adventists take their name from the seventh-day Sabbath, which Jesus is plainly shown to have kept, as well as from His promise to come again. They promote Jesus as the bringer of the soon-coming rest of God.

» Methodists are so called because John Wesley emphasized a structured, methodical approach to Bible study and Christian living, teaching that believers must exercise their free will to come to Christ (as opposed to being absolutely predestined to salvation). Thus, they highlight Jesus' many commands for the individual to be actively involved in his own salvation and Christian growth.

» The Reformed Churches, descendants of the teaching of John Calvin, underscore the necessity of grace through faith in Christ, a reaction to abuses of the medieval Catholic Church's doctrine of works. In this way, they see Jesus as a gracious Redeemer.

Most denominations can be characterized—some would say caricatured—by identifying their concepts of Jesus Himself. He is Christianity's central figure, so how one views Christ determines what one believes and the religion he follows.

This confusion about Him actually began during His own life—even among those who had known Him all His life:

When He had come to His own country, He taught them in their synagogue, so that they were astonished and said, "Where did this Man get this wisdom and these mighty works? Is this not the carpenter's son? Is not His mother called Mary? And His brothers James, Joses, Simon, and Judas? And His sisters, are they not all with us? Where then did this Man get all these things?" So they were offended at Him. (Matthew 13:54-57)

It seems that there was general disagreement in Judea over just who He was:

» When Jesus came into the region of Caesarea Philippi, He asked His disciples, saying, "Who do men say that I, the Son of Man, am?" So they said, "Some say John the Baptist, some Elijah, and others Jeremiah or one of the prophets." (Matthew 16:13-14)

» And when He had come into Jerusalem, all the city was moved, saying, "Who is this?" So the multitudes said, "This is Jesus, the prophet from Nazareth of Galilee." (Matthew 21:10-11)

» Now some of them from Jerusalem said, "Is this not He whom they seek to kill? But look! He speaks boldly, and they say nothing to Him. Do the rulers know indeed that this is truly the Christ? However, we know where this Man is from; but when the Christ comes, no one knows where He is from." (John 7:25-27)

Of course, His enemies had questions about Him too:

» And the scribes and the Pharisees began to reason, saying, "Who is this who speaks blasphemies? Who can forgive sins but God alone?" (Luke 5:21)

» And those who sat at the table with Him began to say to themselves, "Who is this who even forgives sins?" (Luke 7:49)

» Therefore some of the Pharisees said, "This Man is not from God, because He does not keep the Sabbath." Others said, "How can a man who is a sinner do such signs?" And there was a division among them. (John 9:16)

However, Matthew 16:15-17 provides us with the best starting point, confirmed by Christ Himself, in answering the question, "Who is Jesus?"

He said to [His disciples], "But who do you say that I am?" Simon Peter answered and said, "You are the Christ, the Son of the living God." Jesus answered and said to him, "Blessed are you, Simon Bar-Jonah, for flesh and blood has not revealed this to you, but My Father who is in heaven."

The God-revealed answer is that Jesus is the promised Messiah, the literal Son of the Supreme Being of all the universe. Of course, He is a great deal more than this, but these two facts are the most foundational to our spiritual understanding of this wonderful Being. They give us the basis of His relationship to us and our future, as well as His relationship to Deity, fixing Him as the bridge between man and God. From this foundation, we can begin a deeper consideration of the biblical Jesus.

(Dikutip dari : The Berean)

CERITA ILLUSTRASI : Si Badai dan Si Sepoi

Si Badai dan Si Sepoi

Setelah mengobrak abrik daerah Timur Laut, dengan terkekeh-kekeh si Badai melesat ke sebuah hutan, ingin melepaskan penat, setelah seharian membuat kekacauan di bumi. Dalam perjalanannya menuju hutan tersebut, si Badai berpapasan dengan si Sepoi.
"Woi Sepoi! Mau kemana?" tegur si Badai pongah.
"Hai Badai!" jawab si Sepoi enteng.
"Heh! Kau anggap enteng sama aku ya..Belum kenal ya sama saya?" sergah si Badai.
"Bukan begitu kawan. Di kalangan angin, namamu cukup tersohor dan ditakuti..."
"Terus, maksudmu apa?"
Sejenak si Sepoi tercenung.
"Tetapi, aku bukan menyombongkan diri kawan," jawab si Sepoi,"Sebenarnya aku lebih berbahaya dibanding denganmu. Hanya saja, banyak yang tidak menyadarinya.." sambung si Sepoi.
"Mana buktinya!" bentak si Badai garang.
"Tenang kawan. Aku akan membuktikannya."
Kemudian si Sepoi mengajak si Badai menuju sebatang pohon yang rindang. Di atas pohon itu terdapat berbagai binatang. Ada burung, tupai dan seekor monyet. Binatang-binatang tersebut sepertinya sedang beristirahat dan berteduh di kerindangan daun pohon tersebut dari sengatan terik matahari.
Tidak jauh dari pohon tersebut, si Sepoi menghentikan langkahnya dan mengajak si Badai untuk berhenti juga.
"Nah, kawan. Kita akan adu kekuatan di sini."
"Baiklah. Beritahukanlah apa yang harus dilakukan" jawab si Badai cepat.
"Kau lihat pohon yang rindang itu?"
"Ya!"
"Dan kau lihat ada berbagai binatang sedang beristirahat di sana?"
"Ya!"
"Pertanyaannya..."
"Apa? Cepat katakan!"
"Apa warna pakaian yang dipakai oleh binatang-binatang itu?"
"Apa?? Hei, Sepoi!! Kau sudah gila ya..mana ada binatang yang berpakaian..Yang seriuslah!!" bentak si Badai geram.
Si Sepoi terbahak-bahak sambil memegangi perutnya. Sementara si Badai melotot dan ingin menampar si Sepoi.
"Tunggu, tunggu kawan. Aku tadi bercanda," sela si Sepoi setelah puas dengan tertawanya.
"Yang seriuslah.." Si Badai jadi ikut tertawa kecut.
"Begini aturannya," kata si Sepoi."Di atas pohon rindang itu, ada berbagai binatang. Yang harus kita lakukan adalah, bagaimana caranya agar semua binatang itu terjatuh.."
"Yeeee..hanya begitu saja? Ah, kecil.." dengan pongah si Badai menjentikkan jarinya.
"Harus semuanya lho.." sela si Sepoi.
"Gampang..."
"Dan, siapa yang bisa menjatuhkan semua binatang, dialah yang terkuat.."
"Setuju! Jangankan burung, tupai dan monyet. Gajah sepuluh ekor pun bisa aku jungkirbalikkan. Biar kau tahu kekuatanku!!" Secepatnya si Badai mengiyakan. Pikirnya dalam hati, "Mana mungkin si lelet ini bisa menjatuhkan semua binatang itu? Pasti aku, si Badai yang menang..".
Tanpa mengundi, si Badai langsung ambil ancang-ancang. Dia menarik nafas dalam-dalam. Dan dengan kekuatannya yang dahsyat, si Badai mengeluarkan nafasnya yang sangat kencang dan mengarah ke pohon rindang. Sontak binatang-binatang itupun terkejut. Burung-burungpun menghindar dengan mengepakkan sayap dan terbang menuju pohon yang lain. Si tupai pun terkejut, dan beberapa ekor terjatuh tertiup Badai. Tetapi yang lainnya, masih sempat mencengkeram dahan pohon hingga tak jatuh. Si monyet, dengan sigap memeluk dahan pohon yang paling besar, dan tidak dapat dijatuhkan si Badai.
Si Badai terkejut dengan hasil yang didapatinya. Dengan perasaan marah, dia meningkatkan lagi kekuatan tiupannya. Dan ada hasilnya, semua tupai tidak kuat lagi dan tertiup Badai. Tetapi si monyet masih tetap bertahan, tidak terjatuh.
Kembali si Badai memompa kekuatannya. Tetapi semakin si Badai memompa kekuatannya, pelukan si monyet pada dahan pohonpun makin dipererat. Hingga akhirnya, si Badai terengah-engah kehabisan nafas, sampai-sampai lidahnya pun terjulur karena kelelahan. Dan sejuruh kemudian, si Badai terjerembab kehabisan tenaga.
Sementara si Sepoi, tenang-tenang saja melihat situasi itu. Dan senyum simpul tersungging di bibirnya melihat si Badai yang sudah melet-melet (bahasa Jawa: sangat kecapaian).
"Bagaimana kawan? Segitukah kemampuanmu?" tegur si Sepoi."Kau mau lihat kemampuanku?"
sambung si Sepoi. Sementara si Badai masih terengah-engah kecapaian, dan berusaha untuk bangkit, untuk melihat kemampuan si Sepoi menjatuhkan si Monyet.
"Perhatikan baik-baik kawan.." tambah si Sepoi.
Kemudian si Sepoi menarik nafas, dan meniupkannya ke arah pohon. Tidak seperti kekuatan nafas si Badai, angin yang dihasilkan si Sepoi hanya semilir, bertiup lambat-lambat dan hanya menggoyangkan daun-daun pohon itu saja.
"Ah..Mana bisa kau menjatuhkan monyet itu Sepoi!! He.he.he..Hanya daun-daun saja yang bisa kau goyang..whua.ha.ha..dasar si Sepoi.." ejek si Badai.
"Perhatikan kawan...Ini masih tiupan pertama.." jawab si Sepoi. Sementara di atas pohon, setelah mengetahui Badai sudah berhenti, tangan si monyet mulai mengendur dari dahan pohon, dan perlahan-lahan melepaskan pelukannya.
Berikutnya, si Sepoi meniupkan lagi anginnya yang sangat lembut mengelus kepala si Monyet, hingga mata si Monyet menjadi tidak terkontrol lagi, ingin dipejamkan sebab rasa kantuk yang amat. Dan tanpa menunggu lagi, si Sepoi melancarkan angin semilirnya yang membuat mata si monyet tidak tahan lagi dan terpejam tertidur. Pada saat itu, seluruh kesadaran si monyet hilang, hingga kaki dan tangannya tidak kuasa mencengkeram dahan pohon. Dan, si monyet pun terjatuh terjerembab ke atas tanah.
"Lho..koq bisa" seru si Badai sambil melongo.

********************************************************

Demikianlah adanya kehidupan ini. Kawan-kawanku, masih banyak diantara kita yang tidak menginginkan badai kehidupan menerpa. Padahal, dengan adanya badai kehidupan yang menerpa, kita semakin belajar untuk hidup yang lebih baik lagi. Dan kita semakin kuat untuk menghadapi badai kehidupan yang lebih besar lagi, dan kita akan lulus karenanya.
Akan terbalik hasilnya, jika kita selalu menginginkan kesenangan semata. Kita akan semakin terlena olehnya, hingga kekuatan hidup kita semakin hilang. Keterlenaan dalam kesenangan semata, akan membawa kejatuhan dalam hidup.
Dan yang paling penting, dalam menjalani kehidupan yang penuh dengan godaan si Badai dan si Sepoi yang silih berganti datang, satu hal yang tidak boleh kita lupakan adalah selalu berpegang dan makin erat memeluk Tuhan Yang Maha Kuasa.