Selasa, 29 Juni 2010

SEKOLAH MINGGU

Sekolah minggu

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Sekolah Minggu di Oklahoma, Amerika Serikat, ca. 1900.

Sekolah Minggu merupakan kegiatan bersekolah yang diadakan pada hari Minggu. Banyak denominasi Kristen yang mengajarkan pelajaran keagamaan di dalam Sekolah Minggu. Biasanya kegiatan Sekolah Minggu diadakan di dalam sebuah gereja.

Sejarah

Dimulai dari krisis ekonomi di Inggris pada abad ke-18. Robert Raikes yang adalah wartawan surat kabar di Inggris meliput berita mengenai keadaan tersebut. Dalam tugasnya tersebut, Raikes menemui banyak anak-anak yang harus menjadi tenaga kerja di pabrik-pabrik sebagai buruh kasar. Mereka bekerja dari hari Senin sampai dengan hari Sabtu. Pada hari Minggu mereka libur.

Anak-anak tersebut memiliki uang sendiri untuk mereka belanjakan, hasil dari upah mereka sebagai buruh. Hari Minggu mereka habiskan untuk bersenang-senang. Minum-minuman keras, berjudi, bertingkah liar, dan tindakan-tindakan yang tidak terpuji lainnya.

Hati Raikes tergerak. Dia lantas membuka sebuah kelas yang terletak di sebuah dapur kecil milik Meredith di kota Scooty Alley. Kelas tersebut dibuka setiap hari Minggu. Awalnya anak-anak diajarkan sopan santun, kebersihan, membaca, menulis, dan sebagainya. Perkembangan selanjutnya mulai diajarkan ajaran-ajaran Alkitab.

Kelas ini berkembang. Dalam waktu empat tahun sekolah yang diadakan pada hari Minggu itu semakin berkembang bahkan ke kota-kota lain di Inggris. Dan jumlah anak-anak yang datang ke sekolah hari minggu terhitung mencapai 250.000 anak di seluruh Inggris.

Ketika Robert Raikes meninggal dunia tahun 1811, jumlah anak yang hadir di Sekolah Minggu di seluruh Inggris mencapai lebih dari 400.000 anak. Gerakan di Inggris ini akhirnya menjalar ke berbagai tempat di dunia, termasuk negara-negara Eropa lainnya dan ke Amerika.

Dasar-Dasar Pelayanan Sekolah Minggu Anak

Berikut ini dasar Alkitab dari Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru mengenai pelayanan sekolah minggu. [1]

  • Pelayanan Anak Masa Perjanjian Lama (Ulangan 6:4-7)
    • Pembinaan rohani anak dilakukan sepenuhnya dalam keluarga (Ulangan 6:4-7).
    • Pada zaman pembungan Babilonia, orang tua wajib mengirimkan anak-anaknya yang berusia di bawah lima tahun ke sinagoge untuk dididik oleh guru-guru sukarelawan yang mahir dalam kitab Taurat. Anak-anak dikelompokkan dengan jumlah maksimum 25 orang dan dibimbing untuk aktif berpikir dan bertanya, sedangkan guru menjadi fasilitator yang selalu siap sedia menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka.
  • Pelayanan Anak Masa Perjanjian Baru (1 Timotius 3:15)
    • Ketika orang-orang Yahudi yang dibuang di Babilonia diizinkan pulang ke Palestina, mereka meneruskan tradisi membuka tempat ibadah sinagoge ini di Palestina sampai masa Perjanjian Baru.
    • Tradisi mendidik anak-anak secara ketat terus berlangsung sampai pada masa rasul-rasul (1 Timotius 3:15) dan gereja mula-mula. Namun, tempat untuk mendidik anak perlahan-lahan tidak lagi dipusatkan di sinagoge tetapi di gereja, tempat jemaat Tuhan berkumpul.

Perkembangan Sekolah Minggu

Dari para misionaris yang pergi melayani ke negara-negara Asia, akhirnya pelayanan anak melalui Sekolah Minggu juga hadir di Indonesia.

Berikut beberapa dugaan perkembangan pelayanan sekolah minggu di Indonesia. Masih dugaan karena memang tidak ada catatan resminya bagaimana sekolah minggu di Indonesia mulai berkembang. [2]

  1. Ada inisiatif pribadi membuka pelayanan anak dan menggunakan hari Minggu, seperti yang disebarkan para misionaris. Ada beberapa catatan surat pribadi, sebelum Indonesia merdeka, bahwa anak-anak dikumpulkan di rumah tangga-rumah tangga.
  2. Biasanya anak-anak ikut dalam kebaktian gereja bersama orang tuanya dikumpulkan untuk ibadah sendiri.
  3. Pada abad ke-19 sekolah minggu berkembang di Eropa dan Amerika. Akibatnya juga terasa di Indonesia terutama di daerah Zending-Zending.
  4. Permulaan abad 20 Zending-Zending mendirikan sekolah untuk anak-anak dan kebaktian Anak. Ada beberapa buku pedoman mengajar PAK anak yang diterbitkan oleh para missionaris/Zending.
  5. Dari Dewan Gereja Indonesia (sekarang PGI) dibentuk "Seksi Sekolah Minggu sementara" dan disahkan pada tahun 1953.


Melihat keberhasilan Robert Raikes, gereja kemudian mengambil alih model pelayanan itu menjadi alat pekabaran Injil. Barulah di abad ke-20 muncul bahan pelajaran Sekolah Minggu yang ber­jenjang, dan mulai terjadi pergeseran dari maksud utama untuk pekabaran Injil menjadi untuk pembinaan. Jadi, lahir dan munculnya Sekolah Minggu bukanlah berasal dari gereja. Gereja memakai model ini menjadi alat pem­binaan yang sangat efektif.

Di Amerika Serikat, pada awalnya anak-anak mendapat pelajaran membaca dan menulis, karena sekolah ini ditujukan untuk anak-anak telantar usia 6-14 tahun. Baru sesudah dapat membaca dan menulis, anak-anak diperkenalkan pada Injil. Setelah mengalami perkembangan, dan berkali-kali konven-konven guru Sekolah Minggu baik tingkat nasional maupun internasional diadakan, pada tahun 1872 mulailah digunakan International Uniform Lessons (Bahan Alkitab untuk Sekolah Minggu yang diseragamkan). Namun, semua itu ber­tujuan untuk memenangkan jiwa! Tujuan utama lainnya adalah mengajarkan Alkitab. Baru di akhir abad ke-19 sampai awal abad ke-20, muncul kesadaran untuk menangani Sekolah Minggu secara lebih profesional. Ilmu pendidikan mulai diterapkan. Pada tahun 1922 berdirilah International Sunday School Council of Religious Education, yang pada tahun 1924 berubah nama menjadi The International Council of Religious Education. Dengan berdirinya kedua lem­baga tersebut, Sekolah Minggu menjadi semakin maju, dengan teori-teori pendidikan yang modern, yang lebih berpusat kepada anak dan bukan lagi berpusat pada guru.

Pada tahun 1930, muncul juga kesadaran bahwa keluarga ikut berperan serta dalam penyelenggaraan Sekolah Minggu. Kedekatan orangtua dan anak (baik dari segi waktu maupun kualitas) akan memberi hasil pembinaan yang baik. Sayang sekali, contoh dan buku tentang hal ini masih sangat kurang. Kalaupun ada, sangat jarang keluarga Kristen yang membaca dan mempelajarinya.

Jika gereja mengadakan Sekolah Minggu, tujuan utamanya adalah untuk:

- Mewariskan iman (Yesus Kristus adalah Juru Selamat dunia).

- Membina warga jemaat.

- Regenerasi umat (agar gereja terus ada dan berkembang dengan baik).

Karena itulah, gereja-gereja di Belanda, Eropa, dan Amerika banyak yang menggunakannya bukan hanya untuk membina anak-anak, melainkan juga untuk membina jemaat umum dewasa. Jadi, setiap hari Minggu seusai kebaktian umum, para jemaat masuk dalam kelas-kelas pembinaan. Kelas-­kelas itu diatur berdasarkan kelompok tingkatan usia, dari balita, anak kecil, anak yang sudah lebih besar, remaja, pemuda, dewasa muda, dewasa, dan lanjut usia. Di setiap kelas (kelompok usia) warga jemaat ber-Sekolah Minggu dengan belajar Alkitab bersama seorang facilitator (guru).

Karena itu tepat jika untuk membina warga jemaat, gereja (di Indonesia) mengadakan Sekolah Minggu. Walaupun saat ini sudah terlanjur dipahami bahwa Sekolah Minggu (di Indonesia) sama dengan kelas pembinaan (atau kebaktian) untuk anak-anak. Pada umumnya gereja di Indonesia membuat “kelas” pembinaan untuk kategori remaja, pemuda, dewasa muda, dewasa, dan lanjut usia pada hari di luar hari Minggu dalam bentuk persekutuan-­persekutuan remaja, pemuda, dan sebagainya.

Memahami sejarah Sekolah Minggu yang sedemikian, selain kita melihat sejarah perkembangan dan pemikirannya, kita juga dapat belajar beberapa hal berikut:

1. Gereja juga dipanggil untuk mengentaskan masyarakat yang tertinggal (buta huruf, miskin/telantar/anak jalanan, dan sebagainya).

2. Gereja dipanggil bukan hanya mengajarkan Alkitab kepada anak-anak, melainkan juga untuk menumbuh kembangkan seluruh (totalitas) diri anak.

3. Gereja dipanggil untuk melihat persoalan masyarakatnya dan ikut ambil bagian untuk menyelesaikannya.

4. Gereja dipanggil menjadi gereja untuk masyarakat sekitarnya.

Sekolah Minggu diajak menghayati sejarahnya dan mengembangkannya.

(Disadur dari Wikipedia Indonesia)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar